Sabtu, 14 Desember 2013

Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu



Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati?
Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama.
Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt. berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Al-Quran adalah Kitab Tauhid Terbesar
Sesungguhnya pembahasan utama Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu halaman pun yang tidak mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau hari akhir, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi alam semesta ini.
Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.
Karena itu tak heran masalah tauhid menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu, sebagaimana masalah ini menjadi perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema utama dakwah mereka. Umat Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran akidah Islam agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.
Bagi seorang muslim, akidah adalah segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah mereka yang benar -yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat– mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin.
Kelemahan akidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin luasnya kerusakan itu, maka orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan mereka. Menjajah negeri mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.
Sejarah membuktikan bahwa umat Islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka mulia dan memimpin dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika umat Islam mengabaikannnya akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal umat Islam telah memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air umat Islam.

Tingkatan Tauhid



Baik tauhid maupun kemusyrikan ada tingkatan dan tahapannya masing-masing. Sebelum kita melewati semua tahap dalam tauhid, kita belum dapat menjadi pengikut atau ahli tauhid (muwahhid) yang sejati.
Adapun tingkatan tauhid adalah sebagai berikut.
a.Tauhid Zat Allah
Yang dimaksud dengan tauhid (keesaan) Zat Allah adalah, bahwa Allah Esa dalam Zat-Nya. Kesan pertama tentang Allah pada kita adalah, kesan bahwa Dia berdikari. Dia adalah Wujud yang tidak bergantung pada apa dan siapa pun dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah Ghani (Absolut). Segala sesuatu bergantung pada-Nya dan membutuhkan pertolongan-Nya. Dia tidak membutuhkan segala sesuatu. Allah berfirman:
Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah. Dan Allah, Dialah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan apa pun) lagi Maha Terpuji. (QS. Fâthir: 15)
Kaum filosof menggambarkan Allah sebagai eksis sendiri, atau sebagai wujud yang eksistensinya wajib. Kesan kedua tentang Allah pada setiap orang adalah, bahwa Allah adalah Pencipta. Dialah Pencipta dan sumber final dari segala yang ada. Segala sesuatu adalah "dari-Nya". Dia bukan dari apa pun dan bukan dari siapa pun. Menurut bahasa filsafat, Dia adalah "Sebab Pertama".
Inilah konsepsi pertama setiap orang tentang Allah. Setiap orang berpikir tentang Allah. Dan ketika berpikir tentang Allah, dalam benaknya ada konsepsi ini. Kemudian dia melihat apakah sebenarnya ada suatu kebenaran, kebenaran yang tidak bergantung pada kebenaran lain, dan yang menjadi sumber dari segala ke­benaran.
Arti dari Tauhid Zat Allah adalah bahwa kebenaran ini hanya satu, dan tak ada yang menyerupai-Nya. Al-Qur'an memfirmankan:
Tak ada yang menyamai-Nya. (QS. asy-Syûrâ: 11)
Dan tak ada yang menyamai-Nya. (QS. al-Ikhlâsh: 4)
Kaidah bahwa sesuatu yang ada selalu menjadi bagian dari spesies, hanya berlaku pada ciptaan atau makhluk saja. Misal, jika sesuatu itu bagian dari spesies manusia, maka dapat dibayangkan bahwa sesuatu itu adalah anggota dari spesies manusia ini. Namun untuk Wujud Yang Ada Sendiri, kita tidak dapat membayangkan seperti itu. Dia berada di luar semua pikiran seperti itu. Karena kebenaran yang ada Sendiri itu satu, maka sumber dan tujuan alam semesta hanya satu. Alam semesta bukanlah berasal dari berbagai sumber, juga tidak akan kembali ke berbagai sumber. Alam semesta berasal dari satu sumber dan satu kebenaran. Allah berfirman:
Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segalanya." (QS. ar-Ra'd: 16)
Segala sesuatu akan kembali ke sumber yang satu dan ke­benaran yang satu. Kata Al-Qur'an,
Ingatlah bahwa kepada Allah lah kembali segala sesuatu. (QS. asy-Syûrâ: 53)
Dengan kata lain, alam semesta memiliki satu pusat, satu kutub dan satu orbit. Hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan Pencipta dan makhluk, yaitu hubungan sebab dan akibat, bukan jenis hubungan antara sinar dan lampu, atau antara kesadaran manusia dan manusia.
Betul bahwa Allah tidak terpisah dari alam semesta. Dia bersama segala sesuatu. Al-Qur'an mem­firmankan:
Dia bersamamu di mana pun kamu berada. (QS. al-Hadîd: 4)
Namun demikian, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Dia bagi alam semesta adalah seperti sinar bagi lampu atau seperti kesadaran bagi tubuh. Kalau demikian halnya, maka Allah merupakan efek dari alam semesta, bukan sebab dari alam semesta, karena sinar adalah efek dari lampu. Begitu pula, ketidakterpisahan Allah dari alam semesta tidaklah berarti bahwa Allah, alam semesta dan manusia memiliki orientasi yang sama, dan semuanya eksis dengan kehendak dan semangat yang sama. Semua ini adalah sifat makhluk yang adanya karena sesuatu yang lain. Allah bebas dari semua itu. Al-Qur'an memfirmankan:
Mahasuci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. (QS. ash-Shâffât: 180)
b. Tauhid dalam Sifat-sifat Allah
Tauhid Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat dan Sifat-sifat Allah identik, dan bahwa berbagai Sifat-Nya tidak terpisah satu sama lain. Tauhid Zat artinya adalah menafikan adanya apa pun yang seperti Allah, dan Tauhid Sifat-sifat-Nya artinya adalah menafikan adanya pluralitas di dalam Zat-Nya. Allah memiliki segala sifat yang menunjukkan kesempurnaan, keperkasaan dan ke-indahan, namun dalam Sifat-sifat-Nya tak ada segi yang benar-benar terpisah dari-Nya. Keterpisahan zat dari sifat-sifat dan keterpisahan sifat-sifat dari satu sama lain merupakan ciri khas keterbatasan eksistensi, dan tak mungkin terjadi pada eksistensi yang tak terbatas. Pluralitas, perpaduan dan keterpisahan zat dan sifat-sifat tak mungkin terjadi pada Wujud Mutlak.
Seperti Tauhid zat Allah, tauhid sifat-sifat Allah merupakan doktrin Islam dan salah satu gagasan manusiawi yang paling bernilai, yang semata-mata mengkristal dalam mazhab syiah. Disini kami kutipkan sebuah kalimat dalam khotbah pertama “Nahj al-balaghah” yang membenarkan sekaligus menjelaskan gagasan ini :
“segala puji bagi Allah. Tak ada ahli pidato ahli bicara pun yang dapat memuji-Nya dengan memadai. Rahmat dan berkah-Nya tak dapat di hitung oleh ahli hitung sekalipun. Yang paling perhatian sekalipun tak dapat menyembah dengan semestinya. Dia tak dapat di mengerti sepenuhnya, sekalipun luar biasa kecerdasan tersebut sifat-sifat-Nya tak dibatasi oleh pembatas apapun. Tak ada kata yang yang dapat menggambarkan-Nya dengan utuh.”
Seperti kita tahu, dalam kalimat di atas digarisbawahi ketidakterbatasan sifat-sifat Allah. Dalam khotbah itu juga, setelah beberapa kalimat, Iman ali bin abi thalib as berkata:
“sebenar-benar ketaatan kepada-Nya artinya adalah menafikan pengaitan sifat-sifat kepada-Nya, karena pihak yang dikaiti sifat menunjukan bahwa pihak tersebut beda dengan sifat yang dikaitkan kepada-Nya, dan setiap sifat-Nya menujukan bahwa sifat tersebut beda dengan pihak tersebut. Barang siapa mengaitkan sifat kepada Allah berarti dia menyamakan-Nya (dengan sesuatu), dan barang siapa menyamakan-Nya” (Lihat Nahj al-balaghah, khotbah 1, hal.137.ISP.1984)
Dalam kaliamat pertama ditegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat (yang sifat-sifat Nya tak di batasi oleh batas-batas). Dalam kalimat kedua juga ditegaskan bahwa Dia memiliki sifat-sifat, namun diperintahkan untuk tidak mengaitkan sifat-sifat kepada Nya.
Redaksi kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya tak terbatas seperti halnya ketakterbatasan diri-Nya sendiri, bahwa Sifat-sifat yang dimiliki-Nya identik dengan Zat-Nya, dan sifat-sifat yang tak dimiliki-Nya adalah sifat-sifat yang terbatas dan terpisah dari Zat-Nya dan terpisah satu sama lain. Dengan demikian, Tauhid dalam Sifat-sifat Allah artinya adalah mengakui bahwa Zat Allah dan Sifat-sifat-Nya adalah satu.
c. Tauhid dalam Perbuatan Allah
Arti Tauhid dalam perbuatan-Nya adalah mengakui bahwa alam semesta dengan segenap sistemnya, jalannya, sebab dan akibatnya, merupakan perbuatan Allah saja, dan terwujud karena kehendak-Nya. Di alam semesta ini tak satu pun yang ada sendiri. Segala sesuatu bergantung pada-Nya. Dalam bahasa Al-Qur'an, Dia adalah pemelihara alam semesta. Dalam hal sebab-akibat, segala yang ada di alam semesta ini bergantung. Maka dari itu, Allah tidak memiliki sekutu dalam Zat-Nya, Dia juga tak memiliki sekutu dalam perbuatan-Nya. Setiap perantara dan sebab ada dan bekerja berkat Allah dan bergantung pada-Nya. Milik-Nya sajalah segala kekuatan maupun kemampuan untuk berbuat.
Manusia merupakan satu di antara makhluk yang ada, dan karena itu merupakan ciptaan Allah. Seperti makhluk lainnya, manusia dapat melakukan pekerjaannya sendiri, dan tidak seperti makhluk lainnya, manusia adalah penentu nasibnya sendiri. Namun Allah sama sekali tidak mendelegasikan Kuasa-kuasa-Nya kepada manusia. Karena itu manusia tidak dapat bertindak dan berpikir semaunya sendiri, "Dengan kuasa Allah aku berdiri dan duduk. "
Percaya bahwa makhluk, baik manusia maupun makhluk lainnya, dapat berbuat semaunya sendiri, berarti percaya bahwa makhluk tersebut dan Allah sama-sama mandiri dalam berbuat.
Karena mandiri dalam berbuat berarti mandiri dalam zat, maka kepercayaan tersebut bertentangan dengan keesaan Zat Allah (Tauhid dalam Zat), lantas apa yang harus dikatakan mengenai keesaan perbuatan Allah (Tauhid dalam Perbuatan).
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dan kehinaan. Karma itu, agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. (QS. al-Isrâ': 111)
d. Tauhid dalam Ibadah
Tiga tingkatan Tauhid yang dipaparkan di atas sifatnya teoretis dan merupakan masalah iman. Ketiganya harus diketahui dan diterima. Namun Tauhid dalam ibadah merupakan masalah praktis, merupakan bentuk "menjadi". Tingkatan-tingkatan tauhid di atas melibatkan pemikiran yang benar. Tingkat keempat ini merupakan tahap menjadi benar. Tahap teoretis tauhid, artinya adalah memiliki pandangan yang sempurna. Tahap praktisnya artinya adalah berupaya mencapai kesempurnaan. Tauhid teoretis artinya adalah memahami keesaan Allah, sedangkan tauhid praktis artinya adalah menjadi satu. Tauhid teoretis adalah tahap melihat, sedangkan tauhid praktis adalah tahap berbuat. Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang tauhid praktis, perlu disebutkan satu masalah lagi mengenai tauhid teoretis. Masalahnya adalah apakah mungkin mengetahui Allah sekaligus dengan keesaan Zat-Nya, keesaan Sifat-sifat-Nya dan keesaan perbuatan-Nya, dan jika mungkin, apakah pengetahuan seperti itu membantu manusia untuk hidup sejahtera dan bahagia; atau dan berbagai tingkat dan tahap tauhid, hanya tauhid praktis saja yang bermanfaat.
Sejauh menyangkut kemungkinan mendapat pengetahuan seperti itu, sudah kami bahas dalam buku kami "Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Realisme". Apakah pengetahuan seperti itu bermanfaat atau justru sebaliknya, itu tergantung pada konsepsi kita sendiri mengenai manusia, kesejahteraan dan kebahagiaannya. Gelombang pemikiran materialistis di zaman modern ini bahkan menyebabkan kaum yang beriman kepada Allah menganggap tak banyak manfaatnya masalah-masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah. Mereka memandang masalah-masalah seperti itu sebagai semacam manuver mental dan pelarian dari problem-problem praktis kehidupan. Namun seorang Muslim yang percaya bahwa realitas manusia bukanlah realitas jasmaninya saja, namun realitas sejati manusia adalah realitas spiritualnya dan bahwa hakikat roh manusiawi adalah hakikat pengetahuan dan kesuciannya, tahu betul bahwa apa yang disebut sebagai tauhid teoretis itu sendiri, selain merupakan dasar dari tauhid praktis, merupakan kesempumaan psikologis yang paling tinggi tingkatannya. Tauhid ini mengangkat manusia, membawa manusia menuju Kebenaran Ilahiah, dan membuat manusia menjadi sempurna. Allah SWT berfirman:
Kepada-Nya naik kata-kata yang baik, dan amal saleh dinaikkan-Nya. (QS. Fâthir: 10)
Sisi manusiawi manusia ditentukan oleh pengetahuannya tentang Allah. Pengetahuan manusia bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia itu sendiri. Semakin tahu manusia itu tentang alam semesta, sistemnya dan asal-usulnya, semakin berkembang sisi manusiawi manusia tersebut, yang lima puluh persen substansi sisi manusiawi itu berupa pengetahuan. Dari sudut pandang Islam, khususnya ajaran Syiah, tak ada keraguan sedikit pun bahwa tujuan sisi manusiawi itu sendiri adalah mengetahui tentang Allah, tak soal dengan efek praktis dan sosialnya.
Sekarang kita bahas masalah tauhid praktis. Tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah hanya menyembah atau beribadah kepada Allah saja. Dengan kata lain, tulus ikhlas dalam beribadah kepada Allah.
Kemudian akan kami jelaskan bahwa dari sudut pandang Islam, ibadah ada tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya yang sangat jelas adalah menunaikan ritus-ritus yang berkaitan dengan penyucian dan pengagungan Allah. Kalau ritus-ritus seperti itu dilakukan untuk selain Allah, artinya adalah keluar total dari Islam. Namun demikian, dari sudut pandang Islam, ibadah bukan hanya tingkatan yang ini saja. Setiap bentuk orientasi spiritual dan menerima sesuatu sebagai ideal spiritual, maka hal itu tergolong ibadah. Al-Qur'an memfirmankan:
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. (QS. al-Furqân: 43)
Kalau kita menaati seseorang yang telah dilarang Allah untuk ditaati, dan tunduk patuh sepenuhnya kepadanya, berarti kita menyembah atau beribadah kepada orang itu.
 Al-Qur'an mengatakan,
Mereka menjadikan para rabbi dan rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (QS. at-Taubah: 31)
Dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. (QS. Âli 'Imrân: 64)
Dengan demikian tauhid praktis atau tauhid ibadah, artinya adalah menerima Allah saja sebagai yang layak untuk ditaati tanpa pamrih, memandang hanya Dia saja yang menjadi ideal dan arah perilaku, dan menolak selain-Nya serta menganggap selain-Nya tidak layak ditaati tanpa pamrih, atau tidak layak untuk dijadikan ideal. Tauhid ibadah artinya adalah tunduk kepada Allah saja, bangkit untuk-Nya saja, dan hidup untuk-Nya saja, serta mati untuk-Nya saja.
(Nabi Ibrahim berkata): "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang mendptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang yang mempersekutukan Tuhan"... Katakanlah, "Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama tunduk patuh kepada-Nya." (QS. al-An'am: 79, 162-163)
Tauhid Nabi Ibrahim ini merupakan Tauhid praktis atau Tauhid ibadah. Inilah yang divisualisasikan oleh iman ini: "La ilaha illallah" (tiada Tuhan selain Allah). (Muthahhari, Murtadha. 2002: 69-73)

Hakikat Tauhid

     
Seluruh manusia terlahir ke dunia ini dalam keadaan fitrahnya, yakni bertauhid. Sebagaimana yang di terangkan dalam ayat Q. S. Ar-Rum: 30.
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Islam; sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) Agama yang lurus, tetapi kebanyakan menusia tidak mengetahui.” (Q.S. ar-Rum:30)
            Manusia pada dasarnya memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang gaib, sebab itulah ia disebut makhluk religius, yaitu makhluk yang memiliki bawaaan primordial (azali) untuk beragama dan percaya kepada Tuhan. Inilah fitrah manusia yang secara otomatis memiliki potensi bertuhan sejak kelahirannya. Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bertauhid). Kedua oangtua nyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (H.R. Bukhari dan Muslim).
            Untaian kata-kata tauhid dalam Islam dinyatakan dalam kalimat “laa ilaaha ilallaah”, Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
·                     Implikas Tauhid
            Tauhid dalam Islam yang diekspresikan dengan kalimat “laa ilaaha ilallah” merupakan titik tolak untuk membebaskan belenggu. Tauhid ini pula yang membebaskan manusia dari belenggu manusia lainnya, dari penyembahan terhadap rasio dan mental, serta dari sikap hidup materialistis.
Tauhid juga membebaskan manusia dari kependetaan dan hiruk pikuk dunia. Jadi, tauhid mengandung pengertian bahwa manusia tidak membutuhkan apa-apa selain Allah, sehingga seseorang yang beriman diberi kemulyaan dan kepuasan sebagai hamba yang bebas dan benar-benar terhormat.
            Sudah jelaslah bahwa konsep tauhid “laa ilaaha ilallaah” mempunyai implikasi begitu revolusioner berupa pembebasan. Ia meniadakan otoritas, apapun bentuknya, untuk berhubungan dengan Allah swt. Sehingga manusia terbebas dari perbudakan mental dan penyembahan sesama makhluk. Allah swt., sudah jelas dekat dengan siapapun. Firman Allah swt.
Artinya : “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdosa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi perintah-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (Q.S. al-Baqarah: 186)
            Inilah diantara hakikat tauhid “laa ilaaha ilallaah”. Apabila setiap orang mempunyai tauhid yang benar dan memahami tentang dirinya yang bebas dari belenggu apapun selain Allah swt., maka seharusnya ia dapat bekerja dan berkarya lebih baik tanpa gangguan pemikiran-pemikiran khurafat dan takhayul yang justru menghalangi etos kerja dan karya bagi kehidupan manusia. (Ismail, 2008: 10-23)

Hubungan Antara Keimanan dan Ilmu Tauhid



Tanya: 

Di banyak lembaga pendidikan Islam, pelajaran Tauhid merupakan materi wajib. Padahal banyak kalangan awam yang tidak begitu mengenal, bahkan tidak pernah mempelajari, materi Ilmu Tauhid, Pertanyaan kami:
  1. Apa sebenarnya manfaat belajar Ilmu Tauhid? Kenapa   sebagian kalangan fuqaha’, sufi, dan lainnya, melarang umat Islam mempelajari Ilmu Kalam?
  2. Apakah Ilmu Tauhid pernah disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW.?
  3. Apakah keimanan seseorang dianggap sah meskipun tidak pernah belajar ilmu tauhid?
Muhammad Misbah - Kuala Tungkal, Jambi
Jawab: 
1. Manfaat mempelajari Ilmu Tauhid adalah agar seseorang, terutama kalangan cendekiawan, mampu mengetahui dan menghayati kebenaran ajaran Islam secara lebih mantap dan meyakinkan. Karena pengetahuannya diperoleh, selain melalui penalaran aqliyah dengan argumentasi rasional sesuai metode berfikir, juga secara naqliyah berupa dalil-dalil al-Quran dan hadits sebagai dasar argumentasinya.
Kalangan fuqaha’, sufi, dan lainnya, sebenarnya tidak melarang pembelajaran Ilmu Tauhid. Sebab, masing-masing pihak sebenarnya sama-sama ingin menguak kebenaran Islam dari sudut pandang dan ruang lingkup permasalahan yang berbeda, sesuai dengan ajaran dan tuntutan Islam yang beraneka ragam pula. Hal ini seirama dengan beragamnya status, peran, dan fungsi manusia sesuai situasi, kondisi, dan keadaan yang berbeda-beda pula. 
Oleh karena itu, jika ada pelarangan semacam itu, maka selain hanya bersifat subjektif belaka dari ulama bersangkutan, hal itu juga tidak bisa digeneralisir secara menyeluruh. Hal ini mengingat, bahwa ternyata banyak sekali ulama terkemuka yang justru “doble status”, seperti Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111M.) yang dikenal sebagai sufi sekaligus teolog. Bahkan sebelumnya, Imam Abu Hanifah selaku Imam Madzhab, membagi ilmu fiqh menjadi dua; Fiqh al-Akbar, yakni yang membahas masalah keyakinan dan pokok-pokok agama atau Ushuluddin (yang kemudian dikenal dengan Ilmu Tauhid); dan Fiqh al-Asghar, yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan muamalah yang dikategorikan hanya sebagai furu’ atau bagian dari Ushuluddin. Demikian halnya dengan Ibnu Arabi (560-638 H.) yang hidup di bagian barat Negeri Islam, Spanyol. Selain dikenal sebagai tokoh sufi dengan ajaran wahdatul wujudnya, Ibnu Arabi juga tokoh fiqh yang pendapat-pendapatnya masih terus dipelajari oleh umat Islam di berbagai belahan dunia hingga sekarang.
2. Ilmu Tauhid merupakan bagian dari ilmu agama secara keseluruhan; aqidah dan syari’ah; muamalah dan akhlaq. Secara spesifik, Nabi SAW. memang tidak mengajarkan (Ilmu Tauhid. Red) secara tersendiri, apalagi dengan memakai nama Ilmu Tauhid. Karena itu, nama Ilmu Tauhid baru dikenal beberapa abad sesudahnya. Sebagai sentral solusi bagi pemecahan berbagai problematika umat, maka Nabi SAW. telah mengajarkan seluruh ajaran agama Islam, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan. Hal ini terekam dalam kitab-kitab hadis, seperti kitab-kitab hadis shahih karya al-Bukhari dan Muslim, yang memuatnya dalam bab khusus, Kitab al-Iman. 
3. Imam seseorang tetap sah dan benar, meskipun dia tidak pernah belajar Ilmu Tauhid. Ukuran keabsahan iman tidak terletak pada pembelajaran bidang ilmu tertentu, melainkan pada keyakinan yang sebenar-benarnya terhadap 6 rukun iman; yaitu 1) Percaya dengan adanya Allah Swt. sebagai satusatunya dzat yang dipertuhankan, wajib disembah, dan patut dimintai pertolongan; 2) percaya dengan adanya malaikat-Nya; 3) Kitab-kitab suci-Nya; 4) para Rasul-Nya; 5) keberadan kiamat; dan 6) ketentuan takdir, baik ataupun buruk. (Uraian lengkapnya dapat dilihat dalam al-Wafi karya Musthafa Dibb al-Bugha dan Muhyiddin Mitsu, hal.12).

Kedudukan Ilmu Tauhid di Antara Semua Ilmu

Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kemulian tema yang dibahasnya. Ilmu kedokteran lebih mulia dari teknik perkayuan karena teknik perkayuan membahas seluk beluk kayu sedangkan kedokteran membahas tubuh manusia. Begitu pula dengan ilmu tauhid, ini ilmu paling mulia karena objek pembahasannya adalah sesuatu yang paling mulia. Adakah yang lebih agung selain Pencipta alam semesta ini? Adakah manusia yang lebih suci daripada para rasul? Adakah yang lebih penting bagi manusia selain mengenal Rabb dan Penciptanya, mengenal tujuan keberadaannya di dunia, untuk apa ia diciptakan, dan bagaimana nasibnya setelah ia mati?
Apalagi ilmu tauhid adalah sumber semua ilmu-ilmu keislaman, sekaligus yang terpenting dan paling utama.
Karena itu, hukum mempelajari ilmu tauhid adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah sampai ia betul-betul memiliki keyakinan dan kepuasan hati serta akal bahwa ia berada di atas agama yang benar. Sedangkan mempelajari lebih dari itu hukumnya fardhu kifayah, artinya jika telah ada yang mengetahui, yang lain tidak berdosa. Allah swt. berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Al-Quran adalah Kitab Tauhid Terbesar
Sesungguhnya pembahasan utama Al-Quran adalah tauhid. Kita tidak akan menemukan satu halaman pun yang tidak mengandung ajakan untuk beriman kepada Allah, rasul-Nya, atau hari akhir, malaikat, kitab-kitab yang diturunkan Allah, atau taqdir yang diberlakukan bagi alam semesta ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ayat Al-Quran yang diturunkan sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan tauhid.
Karena itu tak heran masalah tauhid menjadi perhatian kaum muslimin sejak dulu, sebagaimana masalah ini menjadi perhatian Al-Quran. Bahkan, tema tauhid adalah tema utama dakwah mereka. Umat Islam sejak dahulu berdakwah mengajak orang kepada agama Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Mereka mendakwahkan bukti-bukti kebenaran akidah Islam agar manusia mau beriman kepada akidah yang lurus ini.
Bagi seorang muslim, akidah adalah segala-galanya. Tatkala umat Islam mengabaikan akidah mereka yang benar -yang harus mereka pelajari melalui ilmu tauhid yang didasari oleh bukti-bukti dan dalil yang kuat– mulailah kelemahan masuk ke dalam keyakinan sebagian besar kaum muslimin. Kelemahan akidah akan berakibat pada amal dan produktivitas mereka. Dengan semakin luasnya kerusakan itu, maka orang-orang yang memusuhi Islam akan mudah mengalahkan mereka. Menjajah negeri mereka dan menghinakan mereka di negeri mereka sendiri.
Sejarah membuktikan bahwa umat Islam generasi awal sangat memperhatikan tauhid sehingga mereka mulia dan memimpin dunia. Sejarah juga mengajarkan kepada kita, ketika umat Islam mengabaikannnya akidah, mereka menjadi lemah. Kelemahan perilaku dan amal umat Islam telah memberi kesempatan orang-orang kafir untuk menjajah negeri dan tanah air umat Islam.

Bidang Pembahasan Ilmu Tauhid

Apa saja yang dibahas? Ilmu tauhid membahas enam hal, yaitu:
1. Iman kepada Allah, tauhid kepada-Nya, dan ikhlash beribadah hanya untuk-Nya tanpa sekutu apapun bentuknya.
2. Iman kepada rasul-rasul Allah para pembawa petunjuk ilahi, mengetahui sifat-sifat yang wajib dan pasti ada pada mereka seperti jujur dan amanah, mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada mereka seperti dusta dan khianat, mengetahui mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan mereka, khususnya mu’jizat dan bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad saw.
3. Iman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya sepanjang sejarah manusia yang panjang.
4. Iman kepada malaikat, tugas-tugas yang mereka laksanakan, dan hubungan mereka dengan manusia di dunia dan akhirat.
5. Iman kepada hari akhir, apa saja yang dipersiapkan Allah sebagai balasan bagi orang-orang mukmin (surga) maupun orang-orang kafir (neraka).
6. Iman kepada takdir Allah yang Maha Bijaksana yang mengatur dengan takdir-Nya semua yang ada di alam semesta ini.
Allah swt berfirman:
“آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (Al-Baqarah: 285)
Rasulullah saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab,
أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
“Iman adalah engkau membenarkan dan meyakini Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan taqdir baik maupun buruk.” (HR. Muslim).

Pengertian, nama, dan manfaat ilmu tauhid


1.                pengertian tauhid menurut lughah dan istilah
Tauhid, secara bahasa berasal dari kata "wahhada - yuwahhidu" yang artinya menjadikan sesuatu satu/tunggal/esa (menganggap sesuatu esa). التوحيد لغة جعل الشيئ واحد
Secara istilah syar'i, tauhid berarti mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta menetapkan Asma dan Shifat Al-Ulya (sifat-sifat yang Tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya dari kekurangan dan cacat.
Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil dalil yang pasti dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah dari sifat sifat yang sempurna dan mensucikan Allah dari tanda tanda kekurangan dan membenarkan semua rasul rasul Nya.
           Objek Pembahasan Ilmu Tauhid. Adapun hal yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan dzat para rasul Nya   dilihat dari segi apa yang wajib (harus) untuk Allah dan Rasul Nya, apa yang mungkin dan apa yang Jaiz (bisa atau tidak bisa)
           PENDIRI ILMU TAUHID
Orang yang pertama tama mendirikan atau menyusun ilmu tauhid ialah Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Manshur al-Maturidi dan pengikut pengikut mereka. Tentu kita jangan hanya mengetahui nama nama mereka sebagai pendiri pendiri ilmu Tauhid tapi sekurang kurangnya harus mengetahui siapa mereka itu? Di bawah ini terlampir ringkasan sejarah mereka: 
1- ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI
Nama lengkapnya Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Bisyr Ishaq al-Asy’ari al-Yamani al-Bashri. Al-Asy’ari kabilah yang berasal dari Yaman, tapi beliau lahir dan besar di Bashrah – Iraq.
Abu al-Hasan Al-Asy’ari lahir di Basra tahun 260 H, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad sampai beliau wafat tahun 324H. Beliau adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy’ari. Sebelum mendirikan faham Asy’ari, beliau sempat berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu Abi Ali al-Jubba’i, namun pada tahun 299 H dia mengumumkan keluar dari faham Mu’tazilah, dan mendirikan faham baru yaitu faham atau thariqah Ahli Sunnah Wal Jamaah yang kemudian dikenal sebagai thariqah Asy’ariah. Banyak tokoh pemikir islam yang mendukung pemikiran-pemikiran beliau, salah satunya yang terkenal adalah Imam besar Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu Kalam, Tauhid dan Ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya, tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti dan mendukung pendapat dan faham beliau dinamakan pengikut “Asy’ariyyah”, bahkan tidak sedikit nama nama mereka dinisbatkan kepada nama imamnya (Al-Asy’ari). Diantaranya pengarang kitab ini ”Al’Aqaid Ad-Diniyyah”, Habib Abdurahman bin Saggaf Assagaf sangat menyenangi jika namanya dinisbatkan kepada nama Abu Hasan Al-Asy’ari 
Di Asia mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti faham imam Abu Hasan Al-Asy’ari, yang diserasikan dengan faham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi terutama pelajaran yang menyangkut pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama “sifat 20″. Pelajaran ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren di seluruh Indoneisa, dan di sekolah-sekolah formal pada umumnya seperti Jamiat Khair (dahulu) yang dipelopori oleh Habib Utsman bin Yahya dan Habib Ali Al-Habsyi.
2- ABU MANSHUR AL-MATURIDI
Abu Manshur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi As-Samarqandi berasal diri daerah Maturid di Samarqand- Uzbekistan. Tidak diketahui dengan jelas tahun kelahiranya, tapi bisa dikatakan bahwa beliau lahir pada masa pemerintahan khalifah Al-Mutawakil Al-Abbasi, dan diperkirakan beliau lebih muda dari Abu al-Hasan Al-Asy’ari 20 tahunan  
Abu Manshur al-Maturidi sama dengan Abu al-Hasan Al-Asy’ari adalah pemikir muslim dan pendiri faham Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan dalil dalil yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw dan juga bersendarkan kepada dalil Aqli. sehingga dia diberi julukan “Imam Al-Huda” atau “Imam al-Mutakalimin”. Abu Mansur al-Maturidi dan Abu al-Hasan merupakan tokoh tokoh pertama yang mendirikan faham Ahli Sunnah Wal Jama’ah terutama dalam ilmu yang bersangkutan dengan Aqidah dan mengenal Allah.
Pemikiran Abu Manshur berkisar sekitar ilmu Ta’wil al-Qur’an, Usul Fiqih, Ilmu Kalam, Tauhid dll. Setelah beliau menerapkan pemikirannya kepada masyarakat, beliau mulai mencatatnya dan meluncurlah setelah itu beberapa buku beliau terutama tentang ilmu Akidah diantara kitab kitab beliau yang terkenal adalah “at-Tauhid”, “Ar-Rad ‘Ala Al-Qaramithah”, “Bayan Wahmi al-Mu’tazilah” dan masih banyak lagi kitab kitab beliau yang bertujuan untuk mempertahankan akidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Telah disebut dalam beberapa marja’ bahwa Abu Manshur Al-Maturidi wafat pada tahun 332H di Samarqand dan kuburannya sangat dikenal masyarakat setempat. Wallahu’alam
Pengertian Ilmu Tauhid
Husain Affandi al-Jasr mengatakan :
هو علم يبحث فيه عن إثباب العقائد الدينية المكتسب من أدلتها اليقينية.
“ Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan Akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan “.
Dengan redaksi yang berbeda dan sisi pandang yang lain, ibnu Khaldun mengatakan bahawa Ilmu Tauhid adalah :
“ Ilmu yang berisi alasan-alasan dari aqidah keimanan dengan dalil-dalil Aqliyah dan berisi pula alas an-alsan bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng Aqidah Salaf dan Ahli Sunnah “.
Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi yang lain yang dikemukakan oleh para Ahli. Nampaknya, belum ada kesepakatan kata dintara mereka mengenai definisi ilmu tauhid ini. Meskipun demikian, apabila disimak apa yang tersurat dan tersirat dari definisi-definisi yang diberikan mereka, masalah tauhid berkisar pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah, Rasul, atau Nabi, dan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan manusia yang sudah mati.
Para Ulama’ sependapat, mempelajari Tauhid hukumnya wajib bagi seorang Muslim, kewajiban itu bukan saja didasarkan pada alas an rasio bahwa Aqidah merupakan dasar pertama dan utama dalam islam, tetapi juga didasarkan pada dalil-dalil naqli, Al-Qur’an dan Hadist.
Sarjana barat menterjemahkan Ilmu Tauhid ke bahasa mereka dengan “Theologi Islam”. Secara etimologi “Theologi” itu terdiri dari dua kata yaitu “theos” berarti “Tuhan” dan “Legos” berarti ilmu. Dengan demikian dapat diartikan sebagai ILMU KETUHANAN. Sedangkan secara terminologi (istilah), theologi itu diartikan :
1. “The discipline which concert God or Devene Reality and Gods   Relation to the world”, maksudnya suatu pemikiran manusia secara sistematis yang berhubungan alam semesta.
2. “Sciense of religion, dealing therefore with God and Man in his relation to God”, maksudnya pengetahuan tantang agama yang karenanya membicarakan tentang Tuhan dan Manusia serta manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.
3. “The sciense which treats of the facts and fenomena of religion and the relationship between God and Man”, maksudnya ilmu yang membahas fakta-fakta dan gejala agama dan hubungannya antara Tuhan dan Manusia.
Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa theologi itu merupakan ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran agama (wahyu) ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.
Inilah sebabnya theologi itu bukan hanya berupa uraian bersifat pikiran tentang agama semata (the intelectual expression of religion) tetapi dapat juga bercorak agama (reaviled theologi) or (filosophical theologi). Untuk itu siapa saja bisa menyelidiki sesuatu agama dengan semangat penyelidikan bebas tanpa harus dari orang-orang yang beragama tersebut atau mempunya hubungan dengan agama yang ditelitinya.
Nama lain dari Ilmu Tauhid
A.                Ilmu Kalam
          Disebut Ilmu Kalam karena :
1.      Pembicaraan pokok yang dipersoalkan pada permulaan Islam adalah firman (kalam) Allah yaitu Al-Quran, apakah ia makhluk diciptakan (non azali) atau tidak diciptakan (azali).
2.      Dasar pembicaraan Ilmu Kalam adalah dalil-dalil akal pikiran sehingga kelihatan mereka ahli bicara. Dalil naqli baru digunakan sesudah ditetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran.
3.      Pembuktian kepercayaan agama sangat mirip dengan falsafah logika, maka untuk membedakannya disebut dengan Ilmu Kalam.
B.     Usuhuluddin
Disebut Ilmu Ushuluddin (ilmu aqaid) karena pokok pembicaraannya adalah dasar-dasar kepercayaan agama yang menjadi pondasi agama Islam.
Ilmu Kalam menjadi ilmu yang berdiri sendiri, mulai masa pemerintahan Daulah Abbasyiah (Khalifah Al-Makmun) ketika Mazhab Mu’tazilah menjadi Mazhab negara. Mazhab ini telah mempelajari filsafat dan memadukan metodanya dengan metoda Ilmu Kalam. Sebelumnya ilmu yang membicarakan kepercayaan masih disebut dengan “al-fiqhu fi ad-din”, sebagai imbangan ilmu fiqh yang dinamakan dengan “al-fiqhu al-ilmi”. Imam Hanafi sendiri menamakan bukunya tentang kepercayaan itu dengan “al-fiqhu al-akbar”.
Pemakaian theologi Islam untuk Ilmu Kalam masih dapat dibenarkan karena pengertiannya tidak berbeda, sebab Ilmu Kalam membicarakan Wujud Tuhan, Sifat-Sifat Wajib, Sifat Jaiz (boleh) dan Sifat Mustahil pada Tuhan. Membicarakan Wujud Rasul, dengan Sifat-Sifatnya baik Wajib, Jaiz dan Mustahil pada mereka.
Juga dibicarakan tujuan ke-utus-an mereka, pertanggungan jawab manusia di akhirat, balasan dan siksaan, semua itu bisa dicapai dengan dalil pikiran yang yakin dan intuitif. Di samping itu juga Ilmu Kalam memberi alasan akan kebenaran kepercayaan tersebut serta membantah orang yang mengingkarinya dan yang menyeleweng daripadanya.
Jadi pengertian Theologi Islam dan Ilmu Kalam memiliki kesesuaian makna. Adanya kepercayaan kepada Tuhan dan segala sesuatu yang bertalian dengannya, hubungan Tuhan dengan alam semesta dan manusia, disamping kepercayaan kepada soal-soal gaib lainnya yang kadang-kadang akal manusia itu tidak mampu lagi menjangkaunya.
C. Aqidah
Secara bahasa:
Diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ikatan
Secara istilah syar’i:
Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
Description: 
http://puji.files.wordpress.com/2010/06/skema.png?w=492&h=373
3. manfaat mempelajari ilmu tauhid
Manfaat, Tujuan, dan Sumber ilmu Tauhid
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh Seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini nampak dalam hal pelaksanaan ibadat, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari.
Maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengakui bertauhid saja tetapi lebih jauh dari itu, sebab tauhid mengandung sifat-sifat :
1.      Sebagai sumber dan motifator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
2.      Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk mengerjakan ibadah dengan penuh keikhlasan.
3.      Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan dan kegoncangan hidup yang dapat menyesatkan.
4.   Mengantarkan manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.

     Dari empat poin yang diatas dapat dipahami bahwa tauhid selain bermanfaat untuk hal-hal batin, juga bermanfaat untuk hal-hal lahir. Sehingga dari poin tersebut sangat jelas manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Sementara dalam sumber lain, ada yang menspesifikasikan fungsi atau manfaat ilmu tauhid bagi kehidupan manusia adalah sebagai pendoman hidup yang dengannya manusia bisa terbimbing ke jalan yang diridhai Allah, dan dengan tauhid manusia bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT. Dengan tauhid manusia tidak hanya bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain manapun. Tidak ada manusia yang superior atau inferior terhadap manusia lainnya.
Suatu hal yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa komitmen manusia-tauhid tidak saja terbatas pada hubungan vertikalnya dengan tuhan, melainkan juga mencakup hubungan Horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Sampai dengan misi ini tauhid dapat mewujudkan sesuatu bentuk kehidupan social yang adil dan etis. 6
Dalam kontek pengembangan umat, tauhid berfungsi antara lain mentranformasikan setiap individu yang meyakininya menjadi manusia yang memiliki sifat-sifat mulia yang membebaskan dirinya dari setiap belenggu sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, akan muncul manusia-manusia tauhid yang memiliki cirri-ciri positif yaitu:
1.                  Memiliki komitmen utuh pada tuhannya.
2.                  Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah.
3.                  Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap terhadap kualitas  kehidupannya, adat-istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya.
4.                  Tujuan hidupnya jelas. Ibadatnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya hanyalah untuk Allah semata.
5.                  Meimiliki visi jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama manusia lain; suatu kehidupan yang harmunis antara manusia dengan Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, Nampak jelas bahwa tauhid memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Bila setiap individu memiliki kometmen tauhid yang kokoh dan utuh, maka akan menjadi suatu kekuatan yang besar untuk mambangaun dunia yang lebih adil
Karena ilmu tauhid merupakan hasil kajian para Ulama’ terhadap al-Qur’an dan Hadist, maka jelas, sumber ilmu tauhid adalah alQur’an dan Hadist. Namun dalam pengembangannya, kedua sumber di hidup suburkan oleh rasio dan dalil-dalil aqli.

SIFAT SIFAT ALLAH

Wajib bagi setiap muslim mukallaf yaitu yang memiliki akal yang sehat dan sudah masuk dewasa mempercayai bahwa terdapat beberapa sifat kesempurnaan yang tidak terhingga bagi Allah. Sifat sifat Allah itu banyak sekali dan tidak terhitung. Seandainya air laut dijadikan tinta untuk untuk menulis sifat sifat Allah tentu kita tidak akan mampu mencatatnya. Maka dari itu Abu Manshur Al-Maturidi membatasi 20 sifat yang wajib (artinya harus ada) pada Allah. Jika tidak memiliki sifat itu, berarti dia bukan Allah.
Jadi, minimal kita harus memahami dan meyakini 20 sifat tersebut agar tidak tersesat. Setelah itu kita bisa mempelajari sifat Allah lainnya yang banyak. Sebagaimana wajib dipercayai akan sifat Allah yang dua puluh maka perlu juga diketahui juga sifat yang mustahil bagi Allah. Sifat yang mustahil bagi Allah merupakan lawan dari sifat wajib.
20 Sifat-sifat Allah yang wajib diketahui oleh seorang muslim mukallaf (akil baligh) yang terkandung di dalam al-Quran termasuk juga sifat-sifat Mustahil yang wajib diketahui. Untuk mempermudah mempelajarinya terlampir dibawah ini ringkasan sifat sifat Allah yang wajib dan mustahil.
Sifat-sifat itu adalah:
1- WUJUD

Wujud (ada) adalah sifat Nafsiyyah artinya sesungguhnya Allah itu ada dan keberadaan Nya itu pasti tidak diragukan lagi. Sifat ini juga menegaskan di mana Allah menjadi tidak ada tanpa adanya sifat tersebut.
Wujud artinya ada dan sifat mustahilnya ‘Adam artinya tidak ada. Untuk membuktikan bahwa Allah itu ada bukan hal yang mudah, kecuali bagi orang-orang yang memiliki keimanan yang luhur. Memang kita tidak dapat melihat wujud Allah secara langsung, tetapi dengan menggunakan akal, kita dapat menyaksikan ciptaan-Nya. Dari mana alam semesta ini berasal? Pastilah ada yang menciptakannya. Tidak mungkin alam semesta ini jadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Contoh, pernah seorang Badui (Arab dari pegunungan) ditanya, ”Dari mana kau mengetahui bahwa Allah itu ada?”. Kebetulan di muka orang Badui tadi ada kotoran unta. Ia menjawab ”Apakah kau lihat kotoran unta ini? Setiap ada kotoran unta pasti ada untanya. Tidak mungkin kotoran unta itu berada dengan sendirinya”
Sedangkan untuk kita yang hidup di abad serba canggih dan modern cara membuktikannya pula berbeda. Tentu kita melihat pesawat terbang, kereta api, mobil, komputer dan lain-lainnya, sesuatu yang tidak masuk akal jika semua itu terjadi dengan sendirinya. Ya sudah pasti ada pembuatnya. Bahkan sampai benda-benda yang sederhana saja seperti jarum ada yang membuatnya, tidak mungkin jarum itu jadi dengan sendirinya.
Walaupun kita tidak bisa melihat Allah, bukan berarti Allah itu tidak ada. Allah ada. Mesikpun kita tidak bisa melihat-Nya, tapi kita bisa merasakan ciptaannya. Pernyataan bahwa Allah itu tidak ada hanya karena panca indera manusia yang sangat terbatas, karena Dia tidak bisa diraba dan tidak bisa dilihat, makanya kita tidak bisa mengetahui keberadaan Allah kecuali dengan bukti bukti ciptaan Nya
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَمَاوَاتِ وَٱلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ يُغْشِي ٱلْلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثاً وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ وَٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلأَمْرُ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَالَمِينَ
”Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.(Al-A’râf: 54).
.
2- QIDAM
– القدم : هو صفة سلبية لأنها سلبت و نفت أولية الوجود ، و معناه في حقه سبحانه و تعالى انه قديم لا أول لوجوده قال الله تعالى : { هُوَ ٱلأَوَّلُ وَٱلآخِرُ وَٱلظَّاهِرُ وَٱلْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ } والدليل العقلي على ذلك انه لو لم يكن قديما لكان حادثا و لو كان حادثا لافتقر الى محدث و يفتقر محدثه الى محدث ايضا و لوكان كذلك للزم الدور أو التسلسل و كل واحد منهما مستحيل فالله سبحانه و تعالى قديم لا أول لوجوده و يستحيل عليه الحدوث
Allah itu berada tanpa adanya permulaan. Sebagai Dzat yang menciptakan seluruh alam, Allah pasti lebih dahulu sebelum ciptaan-Nya. Kebalikannya adalah huduts (Baru) yaitu mustahil Allah itu baru dan memiliki permulaan. Allah itu dahulu tanpa awal, tidak berasal dari ”tidak ada” kemudian menjadi ”ada”.
هُوَ ٱلأَوَّلُ وَٱلآخِرُ وَٱلظَّاهِرُ وَٱلْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah berfirman: “ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (Al Hadiid:3)
Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Allah yang menciptakan langit, bumi, serta seluruh isinya termasuk tumbuhan, binatang, dan juga manusia. Allah adalah awal. Dia sudah berada sebelum langit, bumi, tumbuhan, binatang, dan manusia lainnya ada. Tidak mungkin Allah itu baru ada atau lahir setelah makhluk lainnya ada.
Hikmah & Atsar:
Seorang Atheist (kafir) datang kepada Imam Abu Hanifah lalu bertanya: “Tahun berapa Allah itu berada?
Abu Hanifah menjawab: “Allah berada sebelum adanya tahun, tidak berawal dalam wujud-Nya.”
Orang kafir itu bertanya lagi: “Berikan kepada kami contoh” 
Beliau menjawab: “Angka berapa sebelum empat?
Ia berkata: “Tiga”
Abu Hanifah bertanya lagi: “Angka berapa sebelum tiga?”
Ia menjawab: “Dua”
Abu Hanifah bertanya lagi: “Angka berapa sebelum dua?”
Ia memjawab: “Satu”
Abu Hanifah betanya lagi: “Angka berapa sebelum satu?”
Ia berkata: “Tidak ada sesuatu sebelum angka satu”
Lalu Abu Hanifah berkata: “Kalau tidak ada sesuatu sebelum satu. Maka Allah itu esa tidak ada yg mengawali dalam wujudnya.”
Lalu orang kafir itu bertanya lagi pertanyaan kedua: “Kemana Allah itu berpaling?”
Abu Hanifah menjawab: “Kalau anda menyalahkan pelita di tempat yang gelap, kemana cahaya pelita itu berpaling?
Ia menjawab: “Ke setiap penjuru”
Abu Hanifah berkata: “Kalau cahaya pelita berpaling ke setiap penjur, bagaimana halnya dengan cahaya Allah, pencipta langit dan bumi.”
Lalu orang kafir itu bertanya lagi dengan pertanyaan ketiga: “Terangkan kepada kami tentang dzat Allah. Apakah Ia jamad seperti batu, atau cair seperti air, atau Ia berupa gas?”
Abu Hanifah menjawab: “Apakah anda pernah duduk di muka orang yang sedang sakarat?”
Ia menjawab: “Pernah”
Abu Hanifah bertanya: “Apakah ia bisa bercakap setelah mati?”
Ia menjawab: “Tidak bisa”
Lalu beliau bertanya lagi: “Apakah ia bisa berbicara sebelum mati?” 
Ia menjawab: “Bisa”
Lalu abu Hanifah bertanya lagi: “Apa yang bisa merobahnya sehingga ia mati?”
Ia menjawab: “Keluarnya ruh dari jasadnya” 
Abu Hanifah mejelaskan: “Oh kalau begitu keluarnya ruh dari jasadnya membuatnya ia tidak bisa berbicara?
Ia menjawab: “Betul”
Abu Hanifah bertanya: “Sekarang, terangkan kepada saya bagaimana sifatya ruh, apakah ia jamad seperti batu, atau cair seperti air, atau ia seperti gas?
Ia menjawab: “Kami tidak tahu sama sekali”
Abu Hanifah menjawab: “Jika ruh sebagai makhluk kamu tidak bisa mensifatkanya, bagaimana kamu ingin aku mensifatkan kepada kamu zdatnya Allah.
.
3- BAQA’
- البقاء : صفة سلبية لأنها سلبت و نفت الفناء و معناه عدم الآخرية للوجود و معناه في حقه تعالى أنه موجود وجودا مستمرا لا آخر له ، قال الله تعالى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ } و الديل العقلي على ذلك انه لو لم يكن باقيا لجاز عليه العدم و لو جاز عليه العدم لكان حادثا و كونه حادثا محال لأنه قديم و ما ثبت قدمه استحال عدمه فيستحيل عليه ضده و هو الفناء
Baqa’ (kekal) adalah sifat Salbiyah artinya sifat yang mencabut atau menolak adanya kebinasaan wujud Allah. Dalam arti lain bahwa keberadaan Allah itu kekal, berlanjut tidak binasa atau rusak.
Allah adalah Dzat yang Maha Mengatur alam semesta. Dia selalu ada selama-lamanya dan tidak akan binasa untuk mengatur ciptaan-Nya itu. Hanya kepada-Nya seluruh kehidupan ini akan kembali. Firman Allah:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
”Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (al-Qashash: 88).
Adapun sifat mustahilnya Fana, artinya rusak. Semua makhluk yang ada di alam semesta ini, baik itu manusia, binatang, tumbuhan, matahari, bulan, bintang, dll, suatu saat akan mengalami kerusakan dan kehancuran. Manusia, betapa pun gagahnya, suatu saat pasti mati. Setiap orang pasti akan mati dan hancur dimakan tanah. Hukum kehancuran berlaku hanya bagi manusia, benda dan meteri. Sedangkan Allah bukan manusia, benda atau materi. Dia adalah Dzat yang  tidak terkena hukum kehancuran atau kerusakan. Dia kekal abadi untuk selama lamanya, tidak bisa wafat atau dibunuh. Jika ada Allah yang bisa wafat atau dibunuh, maka itu bukan Allah tapi manusia biasa.
Sungguh, betapa hina dan lemahnya manusia ini di hadapan Allah. Makanya tidak pantas jika ia berbangga diri atau sombong dengan kehebatannya, karena segala kehebatan itu pada akhirnya akan berlalu, yang tersisa hanyalah amal kebaikan.

PEMBAGIAN ILMU TAUHID

1- WAJIB
Wajib dalam ilmu Tauhid berarti menentukan suatu hukum dengan mempergunakan akal bahwa sesuatu itu wajib (mutlak) atau tidak boleh tidak harus demikian hukumnya. Hukum wajib dalam ilmu tauhid ini ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil.
Contoh yang ringan, uang seribu 1000 rupiah adalah lebih banyak dari 500 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 1000 rupiah itu lebih banyak dari 500 rupiah. Tidak boleh tidak, harus demikian hukumnya. Contoh lainnya, seorang ayah usianya harus lebih tua dari usia anaknya. Artinya secara akal bahwa si ayah wajib atau harus lebih tua dari si anak
Ada lagi hukum wajib yang dapat ditentukan bukan dengan akal tapi harus memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya, Bumi itu bulat.  Sebelum akal dapat menentukan bahwa bumi itu bulat, maka wajib atau harus diadakan dahulu penyelidikan dan mencari bukti bahwa bumi itu betul betul bulat. Jadi akal tidak bisa menerima begitu saja tanpa penyelidikan lebih dahulu.
.
2- MUSTAHIL
Mustahil dalam ilmu tauhid adalah kebalikan dari wajib. Mustahil dalam ilmu tauhid berarti akal mustahil bisa menentukan dan mustahil bisa menghukum bahwa sesuatu itu harus demikian.
Hukum mustahil dalam ilmu tauhid ini bisa ditentukan oleh akal tanpa lebih dahulu memerlukan penyelidikan atau menggunakan dalil.
Contohnya , uang 500 rupiah mustahil lebih banyak dari 1000 rupiah. Artinya akal atau logika kita dapat mengetahui atau menghukum bahwa 500 rupiah itu mustahil akan lebih banyak dari1000 rupiah. Contoh lainnya,  usia seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya. Artinya secara akal bahwa seorang anak mustahil lebih tua dari ayahnya.
Sebagaimana hukum wajib dalam Ilmu Tauhid, hukum mustahil juga ada yang ditentukan dengan memerlukan penyelidikan yang rapi dan cukup cermat. Contohnya: Mustahil bumi ini berbentuk tiga segi. Jadi sebelum akal dapat menghukum bahwa mustahil bumi ini berbentuk segi tiga, perkara tersebut harus diselidik dengan cermat yang bersenderkan kepada dalil kuat.
.
3- JAIZ (MUNGKIN):
Apa arti Jaiz (mungkin) dalam ilmu Tauhid? Jaiz (mungkin) dalam ilmu tauhid ialah akal kita dapat menentukan atau menghukum bahwa sesuatu benda atau sesuatu dzat itu boleh demikian keadaannya atau boleh juga tidak demikian. Atau dalam arti lainya mungkin demikian atau mungkin tidak. Contohnya: penyakit seseorang itu mungkin bisa sembuh atau mungkin saja tidak bisa sembuh. Seseorang adalah dzat dan sembuh atau tidaknya adalah hukum jaiz (mungkin). Hukum jaiz (Mungkin) disini, tidak memerlukan hujjah atau dalil.
Contoh lainya: bila langit mendung, mungkin akan turun hujan lebat, mungkin turun hujan rintik rintik, atau mungkin tidak turun hujan sama sekali. Langit mendung dan hujan adalah dzat, sementara lebat, rintik rintik atau tidak turun hujan adalah Hukum jaiz (Mungkin).
Seperti hukum wajib dan mustahil, hukum jaiz (mungkin) juga kadang kandang memerlukan bukti atau dalil. Contohnya manusia mungkin bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum seperti terjadi pada kisah Ashabul Kahfi yang tertera dalam surat al-Kahfi. Kejadian manusia bisa hidup ratusan tahun tanpa makan dan minum mungkin terjadi tapi kita memerlukan dalil yang kuat diambil dari al-Qur’an.

Pengertian Tauhid

Tauhid dalam bahasa artinya menjadikan sesuatu esa. Yang dimaksud disini adalah mempercayai bahwa Allah itu esa. Sedangkan secara istilah ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas segala kepercayaan-kepercayaan yang diambil dari dalil dalil keyakinan dan hukum-hukum di dalam Islam termasuk hukum mempercayakan Allah itu esa.

Seandainya ada orang tidak mempercayai keesaan Allah atau mengingkari perkara-perkara yang menjadi dasar ilmu tauhid, maka orang itu dikatagorikan bukan muslim dan digelari kafir. Begitu pula halnya, seandainya seorang muslim menukar kepercayaannya dari mempercayai keesaan Allah, maka kedudukannya juga sama adalah kafir.
Perkara dasar yang wajib dipercayai dalam ilmu tauhid ialah perkara yang dalilnya atau buktinya cukup terang dan kuat yang terdapat di dalam Al Quran atau Hadis yang shahih. Perkara ini tidak boleh dita’wil atau ditukar maknanya yang asli dengan makna yang lain.
Adapun perkara yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dilihat dari segi apa yang wajib (harus) bagi Allah dan Rasul Nya, apa yang mustahil dan apa yang jaiz (boleh atau tidak boleh)
Jelasnya, ilmu Tauhid terbagi dalam tiga bagian:
1. Wajib
2. Mustahil
3. Jaiz (Mungkin)